Referensimaluku.Id.Ambon-Kepemimpinan Rivi Ramly Nukuhehe (RRN) selaku penjabat Negeri Seith yang dinilai didapatkan dengan cara-cara kotor dan tidak bermartabat kembali mendapatkan penolakan keras kalangan masyarakat, Saniri Negeri dan Tokoh Masyarakat Negeri Seith, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah (Malteng), Maluku.
Itu disebabkan penerapan RRN pejabat Negeri Seith tanpa melalui proses yang benar dan sesuai aturan, tetapi anehhya, RRN tetap dilantik Bupati Malteng Tuasikal Abua (TA) sebagai Raja Seith definitif. Bagi masyarakat Seith pada umumnya pelantikan RRN Raja Seith definitif merupakan proses pembodohan yang dilakukan Bupati Malteng TA. Bupati Malteng tidak berpikir rasional dan berupaya menciptakan polemik di kalangan akar rumput jika mau memaksakan pelantikan RRN tersebut.
“Bupati diminta bersikap rasional dan bisa melihat masalah ini secara jernih tanpa ada tendensi kepentingan politiknya menjelang momen-momen pilkada nanti, sebab hal tersebut bukan saja mengorbankan masyarakat Negeri Seith, tetapi juga merupakan proses pembodohan di Jazirah Leihitu (Hena Hitu),” tegas tokoh masyarakat Seith Saman Nukuhaly kepada referensimaluku.id di Ambon, Senin (4/10/2021).
“Penjabat ini (RRN) dia kelola pemerintahan di Negeri Seith kacau balau dan asal jadi, sehingga mengabaikan proses yang seharusnya.Ini kan ambisi busuk dia demi memuluskan ambisi pribadinya. Ini orang dia saja tidak tahu mengaji, bagaimana mungkin Negeri adat dan religius ini dipimpin oleh orang semacam ini.
Jadi kami sudah menyurati Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah dan Komisi 1 DPRD Malteng agar dapat mengambil langkah tegas untuk membatalkan proses pembodohan yang terjadi ini, sebab penetapan Peraturan Negeri (Perneg) yang mengatur “matarumah parentah” juga disusun dan dilakukan serta disahkan oleh dia sendiri tanpa melibatkan Saniri, para Tokoh masyarakat, kalangan intektual dan masyarakat Negeri Seith.
Bukankah yang seharusnya membuat dan mengesahkan Perneg itu adalah Saniri Negeri Seith bukan pemerintah. Nah, pemneg Seith posisinya hanya mengetahui dan melaksanakan produk peraturan yang sudah dihasilkan oleh Saniri Negeri baru ada pleno tertutup dan pleno terbuka yang juga menghadirkan seluruh lapisan masyarakat, tokoh-tokoh masyarakat dan agama dan intelektual Negeri Seith.
Yang terjadi justru terbalik dan asal jadi oleh penjabat. Kesannya ada sikap serakah dan cara-cara kotor yang dilakukan oleh RRN. Prinsipnya, kami selaku tokoh dan saniri beserta masyarakat Seith menolak hal ini,” tegasnya.Menurut Nukuhaly, pelantikan Raja ini bukan hal main-main seperti orang bangun rumah kecil.
Sebab Raja dalam struktur adat memegang fungsi sebagai kepala pemerintahan sekaligus fungsi sebagai pemimpin adat. Bahkan Raja memegang otoritas administratif, adat dan agama. Artinya, sudah seharusnya seorang Raja yang mau disahkan dan dilantik itu harus melalui mekanisme dan proses yang benar, dan harus terbuka, sehingga bisa menghasilkan kualitas kepemimpinan yang baik untuk kemajuan Negeri nantinya, sebab jika tidak maka Negeri ini akan sulit berkembang dan adanya sekat jika menggunakan cara-cara yang salah”.
“Raja dalam peran dan fungsinya sangat penting dan strategis. Raja selaku kepala pemerintahan harus menjamin terselenggaranya proses administrasi pemerintah yang baik dan bersih. Sebagai kepala adat Raja harus menggaransikan tata tertib dan tatakrama adat dan budaya masyarakat tetap terjaga, dengan mengakomodir semua kepentingan dan menyatukan semua kepala keluarga.
Selaku pemegang otoritas agama, Raja harus memelihara moralitas publik dan akhlak yang baik dan harus bisa menjadi contoh. Tetapi, itu semua jauh dari sikap penjabat saat ini, sebab dia menghalalkan cara-cara kotor untuk berkuasa”.”Usulan penolakan yang dilakukan Tokoh Masyarakat dan Saniri Negeri Seith tentang Peraturan Negeri “matarumah parentah” itu juga karena sikap sepihak penjabat pada rapat tanggal 5 September 2021 yang mengatakan bahwa Saniri tidak berhak membuat dan mengesahkan perneg. Itu merupakan langkah-langkah kotor RRN untuk mengesahkan dirinya sendiri selaku penjabat sebagai Raja definitif, padahal dia ini kan tidak pandai berogranisasi, dia cuma lulusan SMP. Dunia ini sudah terbuka, seharunysa RRN bisa mengakomodir semua kalangan masyarakat”.
“Jika saudara TA selaku Bupati (Maluku Tengah) memaksakan kehendaknya melaksanakan pelantikan juga maka ini akan menjadi “Bom Waktu” di Negeri Seith. Kami cuma ingatkan kalau jangan sampai peristiwa tahun 2002 itu terjadi lagi sampai Negeri Seith itu terbakar. Saya selaku tokoh masyarakat sangat menyesalkan apa yang dilakukan pemerintah negeri Seith.
Saya juga selaku ketua Saniri dipecat secara sepihak oleh dia penjabat, sebab saya menolak mengikuti cara-cara kotor yang dia lakukan untuk mengesahkan dirinya sendiri sebagai turunan matarumah parentah, padahal banyak Raja dari marga lain juga yang pernah memimpin negeri Seith ini. Perlu saya luruskan kalaubyang berhak memberhentikan saya itu Bupati Maluku Tengah, sebab yang memberikan SK Saniri itu Bupati Maluku Tengah.
Tapi yang terjadi tanpa rapat apapun RRN memecat saya semaunya dia. Kami menolak pelantikan Raja Definitif Negeri Seith sebelum prosesnya diselesaikan dan dilaksankan dengan baik”.”Jika tidak ada upaya dan langkah yang dilakukan maka Bupati TA dan anggota DPRD Kabupaten Maluku Tengah yang harus bertanggungjawab jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, sebab surat audiens sudah dilayangkan Tokoh Masyarakat dan Saniri Negeri Seith kepada Bupati Maluku Tengah, Kabag Pemerintahan, Kabag Hukum dan Anggota DPRD Maluku Tengah.
Namun belum ada balasannya. Surat tersebut sudah dimasukan sejak Selasa, 28 September 2021. Kami harapkan Pemkab Malteng dapat menjadi jembatan penghubung menyelesaikan dan mendudukan persoalan ini secara benar, termasuk mempertemukan kedua belah pihak, sebab masyarakat Negeri Seith menginginkan Raja Definitif tetapi harus melalui proses yang baik dan benar. Dari proses yang benar bisa mencerdaskan, mencerahkan masyarakat dan memberi contoh yang benar kepada generasi penerus”.
“Kami selaku tokoh masyarakat sangat menyesali perneg disusun dan disahkan secara sepihak oleh penjabat Negeri Seith, karena sejauh ini tidak pernah ada pembahasan apapun. Tokoh-tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh intelektual serta birokrat Negeri Seith juga tidak pernah diundang, dan tidak pernah diminta pandangan dan masukannya tentang penentuan matarumah parentah ini, sehingga jika saudara Bupati TA dan DPRD Malteng tidak mengindahkan hal ini maka kita hidup seakan-akan seperti di zaman kolonial Belanda dan Jepang, padahal kita ini Negara Indonesia, Negara Hukum, jadi harus didudukan secara baik dan benar sesuai undang-undang. Kabag Hukum, Kabag Pemerintahan dan Bupati TA harus berani mengambil sikap dan menjalankan proses yang benar,” terang sesepuh masyarakat Negeri Seith Haji Abdulah Hataul.Sementara itu perwakilan Saniri Negeri Seith Sahril Hatuina menegaskan Badan Saniri sampai hari ini belum mengadakan pertemuan sekalipun dan tidak ada pembahasan apapun.
“Ini tidak pernah ada rapat, dan tidak pernah kami diundang untuk menyusun dan membahas pembuatan perneg tentang matarumah parentah, tetapi tiba-tiba pada tanggal 5 September 2021 itu kami dipanggil menghadiri undangan rapat. Lucunya lagi undangan rapat tersebut terkait agenda penetapan dan pengesahan perneg.
Jadi saya selaku saniri sangat menyesalkan sikap penjabat negeri Seith yang sudah mengambil kebijakan yang salah, karena dia mengatakan hanya pemneg yang berhak mengambil keputusan dan saniri tidak behak. Itu artinya, secara langsung dia mau bilang Saniri tidak punya wewenang di dalam masyarakat, bahkan di dalam negeri. Padahal SK Saniri dan SK Penjabat itu sama-sama diterbitkan Bupati Malteng,dan sudah jelas fungsi Saniri itu adalah melakukan pengawasan dan menyusun serta menetapkan perneg.
Kami dari Saniri menghimbau kepada saudara Bupati TA, Kabag Hukum dan Kabag Pemerintahan serta DPRD Maltengbuntuk meninjau kembali penetapan dan pengesahan perneg yang dilakukan secasepihak RRN itu. Kalau tidak maka akan terjadi polemik dan keresahan di dalam masyarakat”.”Masalah ini sendiri juga mengisyaratkan bangkitnya kembali feodalisme baru dalam pemerintahan negeri Seith, sebab bagaimana jadinya bila di satu sisi, badan saniri yang berjumlah 17 orang lemah, maka akan terjadi hubungan yang tidak seimbang, yang memungkinkan penjabat selaku kepala pemerintahan negeri berlaku dan bertindak sewenang-wenang, apalagi terkait penetapan perneg yang dihasilkan.
Harusnya untuk mengesahkan satu turunan sebagai matarumah parentah dilakukan dengan proses yang benar, harus buat pengumuman melalui surat edaran kepada semua elemen masyarakat. Yang memerintah sebagai Raja di Negeri Seith itu sangat banyak, maka seharusnya marga-marga ini juga diakomodir dan berkasnya disaring Saniri, sehingga sebelum adanya pleno tertutup oleh Saniri harus dilakukan terlebih dahulu pleno terbuka. Pleno terbuka itu menghadirkan seluruh tokoh-tokoh masyarakat maupun tua-tua adat yang dianggap mampu menceritakan sejarah Negeri Seith.
Kemudian menghadirkan tokoh-tokoh intelektual yang berbicara tentang kondisi sosiologi masyarakat dan satunya birokrat yang menjelaskan tatanan pemerintahan. Setelah mendengar semua pandangan dan menghadirkan serta menunjukan semua alat bukti, baru bisa dilakukan langkah pleno tertutup oleh Saniri, baru setelah itu Saniri mengesahkan dan diketahui oleh pemerintah Negeri. Tetapi sampai saat ini langkah-langkah tersebut tidak ada dan tidak pernah dilakukan, bahkan rapat pun tidak pernah, tapi tiba-tiba disahkan, seharusnya legal standing penetapan perneg itu yang mengesahkan adalah Ketua Saniri. Tapi ini tidak ada Ketua Saniri kok bisa disahkan. Lalu siapa yang mengesahkan, ini dia penjabat mengusulkan dirinya sendiri dan menetapkan dirinya sendiri sebagai turunan matarumah parentah secara sepihak”.
“Masyarakat juga menyayangkan sikap penjabat negeri Seith yang secara sepihak dan tidak bijaksana menetapkan dirinya sendiri dan menetapkan perneg untuk kepentingan dirinya berkuasa. Kami sangat sayangkan sikap penjabat dalam rapat Saniri yang cenderung dilaksankan untuk mengesahkan keputusan soal “matarumah parentah” tanpa melalui pembahasan dan langsung disahkan begitu saja.
Aspek demokrasi dan persamaan hal politik masyarakat Seith diabaikan”. “Jadi langkah penjabat membedakan antara keturunan raja dan bukan keturunan raja ini tanpa dasar. Padahal negeri ini sudah melewati proses pemilihan langsung selama ini. Proses ini harus melalui kajian yang matang dan melalui keputusan bersama.
Jadi kami sangat menyesal sebab semua ini merupakan proses yang salah, penepatan ini tidak sah, tanpa melalui kajian, cacat prosedur dan harus segera diluruskan dan didudukan sesuai porsinya yang benar. Pemkab Malteng dan kabag pemerintahan juga harus identifikasi masalah yang ada ini lalu dicarikan solusi dan putuskan bersama sesuai dengan cara yang benar”. (RM-05)
Discussion about this post