Referensimaluku.id.Ambon- Kiprah militansi orang Maluku dalam dunia hukum Indonesia tak terbatas pada sosok mendiang Profesor Doktor Jacob Elfinus Sahetapy, S.H.,M.A atau Profesor Doktor Edward Oemar Sjarief Hiariej, S.H.,M.H. Masih ada nama-nama lain yang tak kalah garang dan pemberani menyuarakan keadilan dan menegakan perlindungan Hak Azasi Manusia (HAM) di Negara ini. Salah satunya mantan hakim karier Peradilan Umum di bawah Mahkamah Agung Republik Indonesia, Albertina Ho.
Ternyata, Alberthina bukan sembarang nama dalam dunia hukum Indonesia. Perempuan ini merupakan salah satu wakil Tuhan di muka bumi dengan reputasi yang dingin dalam memimpin persidangan.
Dia merupakan hakim yang tidak pernah merasa terbebani saat menangani sejumlah perkara besar, seperti kasus Gayus Tambunan atau perkara yang melibatkan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar.
Predikat “Srikandi Hukum Indonesia” pun kerap dilekatkan kepada Albertina Ho. Namun, hakim kelahiran Dobo, Kepulauan Aru, Maluku pada 11 Januari 1960 ini tidak pernah merasa pantas menerima julukan kehormatan itu.
“Kalau bagi saya, malu dijuluki Srikandi Hukum.
Karena saya berpikir, apa iya itu cocok untuk Saya? Saya merasa masih banyak orang juga yang berkarya di bidang ini yang mungkin juga lebih dari saya,” kata Albertina Ho, dalam sebuah wawancara dengan Kompas.com, Senin (19/4/2021) sebagaimana dikutip referensimaluku.id, Selasa (21/9). Mengapa dia enggan dilabeli predikat tersebut, kata
Albertina, dia khawatir julukan “Srikandi Hukum” justru menjadikannya sebagai manusia yang takabur atau menjadi orang yang merasa paling mulia. Dia tidak ingin julukan itu menjadi pemberat dalam menghadapi berbagai jalan di bidang hukum yang dijalaninya.
“Saya tidak mau mengatakan bahwa saya malah bangga, karena saya tidak mau takabur. Saya takut, namanya manusia, kan saya banyak kelemahan juga,” ucapnya.
“Justru itu, mungkin akan mendorong saya untuk lebih hati-hati lagi, lebih menjaga perilaku untuk ke depannya,” imbuhnya.
Rekam jejak mumpuni
Namun, rekam jejaknya di bidang hukum, terutama saat memimpin persidangan, seperti menjadi bukti bahwa Albertina sosok yang rendah hati.
Kariernya telah digeluti selama puluhan tahun. Ini bermula ketika dia Lulus S1 dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada pada tahun 1985. Selanjutnya, gelar Magister Hukum diperolehnya dari Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
Albertina menjajaki karier sebagai calon hakim pada Pengadilan Negeri Yogyakarta tahun 1986. Ia pernah bertugas sebagai hakim di Pengadilan Negeri Slawi, Temanggung, dan Cilacap pada kurun waktu 1990 sampai dengan 2005.
Pada tahun 2005, kariernya melesat hingga duduk di kursi Sekretaris Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA) Bidang Yudisial.
Tak lama kemudian, Albertina Ho ditunjuk menjadi hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tahun 2008-2011, yang membuat dia dikenal masyarakat ketika menangani perkara besar.
Selepas itu, dia melanjutkan memimpin meja hijau sebagai Ketua Pengadilan Negeri Sungailiat hingga 2014, Wakil Ketua Pengadilan Negeri Palembang (2014-2015), dan hakim Pengadilan Negeri Bekasi (2015-2016).
Selanjutnya, Albertina menjadi Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Medan (2016-2019), dan menjadi Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Kupang pada 27 September 2019 hingga 20 Desember 2019.
Setelah kariernya sebagai hakim berakhir, Presiden Joko Widodo kemudian menunjuk dia menjadi anggota Dewan Pengawas (Dewas) KPK pada 20 Desember 2019.
Albertina Ho menjadi salah satu orang yang diharap dapat Presiden dapat menimbulkan kepercayaan kepada KPK, setelah badai revisi UU KPK membuat lembaga anti-rasuah itu dianggap tak lagi bertaji.
Tolak penghargaan HAM
Tidak hanya enggan menerima julukan Srikandi Hukum, Albertina juga pernah menolak saat masuk nominasi penerima Yap Thiam Hien Award pada tahun 2011.
Penghargaan itu biasa diberikan kepada orang-orang yang dianggap berjasa dalam penegakan gak asasi manusia (HAM).
Bahkan, sebelum penghargaan itu diberikan, Albertina langsung bertemu panitia acara untuk menjelaskan alasan tidak bisa menerima penghargaan tersebut.
Salah satunya, yakni kode etik hakim yang tidak memperbolehkan seorang hakim mencari popularitas.
“Saya menyampaikan permohonan maaf, bukannya saya tidak menghargai, tidak, jangan sampai penghargaan itu menjadi dikesankan orang bahwa saya mencari popularitas,” ucap dia.
“Saya katakan bahwa, Saya juga terima kasih sekali, tapi, Saya itu mohon maaf, saya merasa, Saya masih terlalu kecil dibandingkan dengan penghargaan yang begitu besar yang harus diberikan kepada Saya,” tutur Albertina.
Membangun sistem di KPK
Setelah puluhan tahun menjadi hakim di berbagai pengadilan di Indonesia, kini Albertina menduduki posisi sebagai Anggota Dewas KPK.
Menurut dia, tidak banyak perbedaan yang signifikan saat bekerja di Pengadilan dengan posisinya saat ini. Sebab, saat menjadi Ketua Pengadilan Tinggi, Albertina juga banyak berusan dengan perkara, manajerial perkara, dan manajemen umum.
“Nah kalau di sini bahkan perkaranya hanya sedikit, izin penggeledahan, izin penyadapan, izin penyitaan, jadi lebih banyak masalah manajerial, pekerjaannya di sini,” ucap dia.
“Perbedaannya, kalau saya dulu sebagai hakim, sistem sudah terbangun semua dengan baik, kalau sekarang di sini, sistem belum ada, karena institusinya baru, lembaganya baru, sehingga kita membangun sistem,” kata Albertina
Bekerja di antara Laki-laki
Menjadi satu-satunya perempuan di jajaran Dewan Pengawas bukan menjadi persoalan berarti bagi Albertina. Apalagi, ia juga pernah menjadi satu-satunya perempuan saat menjadi Ketua Pengadilan di Kupang.
Ia mengaku, sejak dulu sudah terbiasa bekerja di lingkungan yang mayoritas laki-laki. Pengambilan keputusan dalam kerja di Dewan Pengawas yang dilakukan secara kolektif kolegial juga tidak menjadi penghambat meskipun dia satu-satunya perempuan.
“Jadi semuanya kami bicarakan, kami diskusikan ya secara musyawarah, kalau musyawarahnya tidak sepakat, baru suara terbanyak,” kata dia.
“Karena tempat pekerjaan saya yang dulu itu kan juga mayoritas laki-laki, hakim juga mayoritas laki-laki,” ucap Albertina.
Menjadi Anggota Dewan Pengawas KPK, bagi Albertina adalah tantangan tersendiri. Dalam menjalankan tugasnya, ia bisa bekerja dalam waktu 24 Jam dalam sehari.
Ini disebabkan begitu banyak izin yang harus dikeluarkan Dewas KPK agar lembaga anti rasuah itu bisa bekerja. Bahkan, tak jarang Albertina harus kembali ke kantor saat sudah di rumah atau sedang dalam waktu libur.
“Pernah di hari libur, kadang izin masuk malam hari, kami sudah libur, lagi di rumah, ada izin ini, itu, perlu dikerjakan sekarang, ya kerjakan,” ucap Albertina.
Kendati demikian, Ia tak menjadikan waktunya bekerja sebagai masalah, semua bisa dikoordinasikan dengan sesama Anggota Dewan pengawas maupun fungsional yang ada di jajarannya.
Tak terbebani kasus besar
Albertina juga tak pernah merasa terbebani jika mengurus perkara yang menjadi sorotan publik. Hal ini merupakan prinsip yang dia pegang saat masih menjadi hakim.
Menurut dia pemberitaan-pemberitaan yang ada, justru menjadi masukan bagi Albertina untuk melihat respons dari masyarakat.
Albertina menilai, membaca berita-berita terkait dengan pekerjaannya justru menjadikan dia mengetahui opini masyarakat tentang putusan-putusan yang telah dikeluarkan.
“Malah opini ini bagi saya ini tantangan, kalo itu tidak sesuai dengan fakta, kok opininya bilang begini ya, kok orang bilang begini ya, ini di persidangan saya harus gali masalah ini dari saksi misalnya,” ucap dia.
“Jadi kalau saya, itu untuk masukan saya, jadi saya akan lebih terang benderang dalam menyelesaikan kasus, akhirnya nanti di putusan kan kita bisa menjawab opini,” kata Albertina.
Albertina menangani kasus besar seperti suap pajak dengan terdakwa Gayus Tambunan, kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen yang melibatkan Antasari Azhar, atau perkara mafia hukum dengan terdakwa jaksa Cirus Sinaga.
Beberapa kasus yang juga menjadi perhatian publik itu, tak lantas membuat dia merasa takut atau khawatir dengan apa yang dijalaninya.
“Kalau masalah ancaman saya bersyukur, perasaan saya, selama ini enggak ada ancaman. Ini perasaan saya, ancaman yang langsung tidak ada,” kata Albertina.
Namun demikian, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, dia pernah tidak mau mengangkat telepon dari orang-orang yang dia tidak kenal.
“Bahkan kadang-kadang saya diingatkan sama temen-temen media, bu hati-hati lho, Bu. Jangan pergi sendiri,” kata Albertina. “Saya bilang, doakan ya supaya semuanya aman, lancar
Ajak perempuan berani berperan
Berdasarkan pengalamannya itu, Albertina mengajak seluruh perempuan Indonesia untuk tidak takut berperan dalam posisi apapun. Termasuk, dalam bidang atau profesi yang mayoritas laki-laki, atau bahkan dinilai memiliki risiko tinggi jika perempuan yang mengerjakannya.
“Kadangkala terjadi, perempuan ini dia belum mencoba, dia sudah memvonis tidak mampu atau tidak bisa, padahal belum mencoba, bagaimana mungkin kita belum mencoba kita bilang enggak bisa,” kata Albertina.
“Ini sebenarnya kita harus hilangkan kata tidak bisa, tidak mampu. Sebenarnya kalau dari atasan atau pimpinan kita sudah mempercayai akan suatu jabatan ke kita pastikan menurut atasan kita, kita mampu, ada kemampuan untuk itu,” ujar dia.
Ia juga berharap perempuan-perempuan memiliki kekuatan mental untuk tidak banyak peduli terhadap omongan orang yang menyebut bahwa perempuan tidak mampu.
“Jawablah itu dengan kinerja, dengan kinerja saja buktikan. Orang akan menilai kinerja kita bagaimana, orang akan menilai, oh ternyata mampu dia, ternyata bisa dia, dan sebagainya,” ucap Albertina.
Albertina berpendapat, perempuan memiliki banyak peran yang penting, salah satunya dalam keluarga, bahkan ia menyebut, peran itu tak hanya satu, tapi dua.
Peran pertama bagaimana perempuan bisa berada di area publik dengan mampu bekerja di berbagai bidang dan peran kedua di area domestik misalnya keluarga.
Peran domestik yang dilakukan perempuan, kata Albertina, yakni sebagai penyeimbang maupun sebagai pengontrol.
Seorang Ibu misalnya, menurut Albertina, perempuan sebagai ibu memiliki peran mengajari anak-anaknya dalam berperilaku jujur, hidup sederhana, tidak boleh mengambil barang orang lain, berbicara apa adanya dan melakukan apa adanya.
“Perempuan juga harus jadi teladan di area domestik itu, sehingga apa yang dilakukan Ibu bisa diteladani, dicontoh oleh anak-anak,” kata Albertina
Selain itu, Albertina menilai, perempuan juga bisa menjadi pengontrol perilaku dalam keluarga, misalnya untuk suami. Menurut dia, banyak Ibu-ibu merasa bahagia ketika suaminya memberikan hadiah ulang tahun berupa berlian.
Hadiah itu bahkan dipamerkan sebagai rasa cinta dari suaminya dan sebagai bentuk terima kasih karena telah diberikan perhiasan.
“Padahal, seharusnya perempuan bertanya, uang dari mana beli itu. Nah di situ yang saya maksud dia sebagai pengontrol,” ucap Albertina.
Albertina menuturkan, perjuangan Ibu Kartini dalam mewujudkan emansipasi, saat ini bisa dilakukan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan.
Perempuan Indonesia itu, menurut dia, harus berpendidikan tinggi dan bisa berperan serta memajukan bangsa dalam masing-masing bidang profesi.
“Sayangnya, ada perempuan-perempuan kita yang sudah berperan bagus, berpendidikan tinggi, berperan di ranah publik, tapi melakukan perbuatan yang melanggar hukum,” ucap Albertina.
Jika dirinya menjadi seorang Kartini masa kini, Albertina akan mewariskan aturan-aturan yang diharapkan dapat dipegang bagi perempuan.
Ia merasa sedih jika perempuan-perempuan Indonesia tidak taat pada aturan-aturan yang telah dibuat.
“Saya berharap perempuan-perempuan Indonesia ayo kita berperan juga di ranah publik, kita juga berperan di ranah domestik, tapi sesuai dengan aturan, jangan melenceng dari aturan,” tutupnya. (RM-02)
Discussion about this post