Referensimaluku.Id.Ambon- Pejabat Negeri Seith Rivi Ramly Nukuhehe (RRN) melalui keputusannya secara sepihak tentang penetapan Peraturan Negeri (Perneg) yang mengatur “matarumah parentah” disinyalir dilakukan untuk memuluskan kepentingannya, yang akhirnya memicu sikap pro dan kontra di tengah masyarakat negeri setempat. Polemik tak berujung memanaskan konflik kepentingan yang telah menjadi “bom waktu” akibat sengaja dipelihara penjabat Negeri Seith dengan melakukan proses yang salah dan di luar prosedur. Sikap RRN juga diketahui telah mengamputasi hak-hak saniri dan masyarakat negeri Seith, sebab proses penetapan Perneg “matarumah parentah” dilakukan tertutup dan langsung disahkan tanpa penjelasan ilmiah dan rasional kepada masyarakat Seith terutama tentang proses yang dijalankan. Apalagi proses tersebut tidak menggunakan pendekatan ilmiah yang seharusnya dapat menghadirkan tokoh-tokoh yang berkompeten serta kredibel untuk menjelaskan secara runtut sejarah “matarumah parentah” yang ada. Yang terjadi justru penjabat Negeri Seith melakukan proses penetapan “matarumah parentah” semaunya saja agar dapat memuluskan niantya terus berkuasa.
Keputusan penetapan Perneg “matarumah parentah” yang tiba masa tiba akal itu terus mendapat tanggapan negatif atau penolakan eleman masyarakat dan tokoh masyarakat Negeri Seith. “Beta sangat menyesalkan mekanisme penetapan perneg tentang “matarumah parentah” di Negeri Seith, karena alurnya tidak sesuai yang sebenarnya. Jujur, ini bukan tentang siapa yang mau jadi Raja, tetapi persoalannya adalah prosesnya harus benar. Yang penting prosesnya jelas dan masyarakat merasa puas. Maksudnya, seharusnya diumumkan terlebih dahulu dalam jangka waktu 3 hingga 7 hari setelah itu dilakukan pleno saniri. Tetapi sebelum masuk ke pleno saniri secara tertutup, saniri harus melaksanakan pleno terbuka terlebih dulu. Jadi paket pleno terbuka itu harus menghadirkan tokoh-tokoh masyarakat yang dianggap mampu menceritakan sejarah Negeri Seith. Prosesnya harus juga menghadirkan para intelektual asal Seith, baik yang berprofesi sebagai akademisi maupun birokrat.Nantinya mereka berbicara tentang tatanan adat dan tatanan sosial Negeri Seith serta tentang tata kelola kelola pemerintahan. Dari situ baru bisa digelar pleno tertutup oleh Saniri setelah dilaksanakan pleno terbuka, sehingga bisa dihasilkan keputusan tentang “matarumah” mana yang berhak menjadi mata rumah parentah berdasarkan data, fakta dan bukti valid yang ada,” tutur Tokoh Masyarakat Seith, Saman Nukuhaly kepada referensimaluku via ponselnya, Sabtu (18/9).
Nukuhaly menuding RRN telah menerapkan prosedur terbalik penetapan “matarumah parentah” yang muaranya pada pembodohan masyarakat Seith
“Yang terjadi sekarang adalah proses terbalik dan proses pembodohan yang dilakukan penjabat negeri Seith saudara RRN. Penyebabnya karena seharusnya Saniri yang mengundang Pemerintah Negeri (Pemneg) Seith, tetapi malah sebaliknya yang terjadi di mana pemneg yang mengundang Saniri untuk menetapkan draf yang sudah disusun secara sepihak oleh penjabat kepala pemneg, yakni menetapkan “matarumah” keturunan Nukuhehe (Loholawa) atau keturunan Latu Adam L. H. Nukuhehe sebagai “matarumah parentah” secara tunggal tanpa melalui pembahasan sedikit pun kepada masyarakat.
Padahal,seharusnya saniri yang mengundang pemneg setelah itu baru pleno tertutup dan pleno terbuka dilaksanakan untuk mengesahkan rancangan Perneg yang telah dirancang agar bisa menjadi perneg. Namun apa yang dilakukan RRN sekarang sudah mengamputasi dan memonopoli hak-hak saniri. Tentu sikap RRN itu merupakan hal yang tidak baik, dan cara-cara kotor seperti itu tidak dapat dipakai membangun negeri Seith. Ke depan apa yang akan terjadi dengan negeri Seith jika proses pembodohan dan cara mempolitisir kepentingan pribadi dan kelompok inj dibiarkan begitu saja,” ingatnya.
Nukuhaly selain tokoh masyarakat dia juga menjabat Ketua Saniri Negeri Seith. Dia diberhentikan sepihak RRN, padahal yang memiliki kewenangan memberhentikan Nukuhaly adalah Bupati Maluku Tengah (Malteng), Maluku. Sebab Bupati Malteng yang memberikan Surat Keputusan (SK) dan mandat ketika menetapkan Saniri Negeri Seith. Pemberhentian Nukuhaly sengaja dilakukan tanpa melalui rapat apapun oleh penjabat Pemneg Seith, karena Nukuhaly tidak menyetujui keputusan “politik busuk” yang dilakukan RRN agar tetap berkuasa dengan cara-cara kotor.
Sebelum itu berdasarkan hasil rapat Saniri Negeri Seith pada 25 Mei 2020 telah diputuskan menunjuk Mahyudi Honlissa dilantik sebagai Penjabat negeri Seith. Pada saat rapat Saniri, Honlissa berhasil memperoleh 10 suara dari total 17 suara Saniri, RRN memperoleh 6 suara, sedangkan satu suara lagi abstain alias tidak memilih. Akan tetapi RRN sengaja melakukan langkah kotor untuk membatalkan pelantikan Honlissa, serta memalsukan beberapa tanda tangan Saniri untuk mendukung dirinya sebagai penjabat Negeri Seith yang kemudian diusulkan dilantik sebagai penjabat negeri Seith oleh Bupati Malteng.
Artinya, rekam jejak RRN selama ini sudah menjadi catatan buruk bagi kehidupan sosial, budaya, adat-istiadat serta dalam kehidupan berdemokrasi di Seith. RRN memakai cara-cara kotor termasuk mengamputasi hak Ketua Saniri Negeri Seith, sehingga RRN nekad menyalahgunakan wewenangnya”.
“Apa katong harus biarkan hal yang tidak baik ini terus terjadi. RRN ini dia memang sangat berambisi menjadi raja dengan langkah-langkah kotor dan instan yang dia lakukan. Dia juga menjadi penjabat secara instan dengan menghalalkan cara salah.
Sekarang dia mau buat perneg lagi dengan instan. Bagi saya, dia pemimpin yang tidak punya konsep, sebab kalau punya konsep seharusnya proses ini didudukan secara baik dan benar demi kebaikan masyarakat Seith semua. Prinsipnya, proses pembodohan dan cara kotor ini akan kita lawan, sebab lebih baik kita dibenci karena kejujuran dari pada disanjung karena kemunafikan,” tandasnya.
Kekosongan kursi “Raja” di Negeri Seith sudah terjadi sejak 2011 hingga 2021.
Selama rentang waktu 10 tahun tersebut sampai sekarang Negeri Seith masih dipimpin penjabat negeri karena Saniri tak berfungsi karena sudah lama terbengkalai. “Sangat diharapkan ada proses baru yang harus mengakomodir semua kepentingan masyarakat Seith, sebab membangun Seith tidak seperti membangun rumah kecil. Harus ada bukti lengkap, sehingga tidak melakukan proses instan demi kepentingan sesaat yang dapat menghancurkan negeri ini.Pemerintah Kabupaten Malteng juga dituntut dapat melihat dan menuntaskan permasalahan saat ini di Seith, sebab jika dibiarkan akan menjadi “bom waktu” bagi kelangsungan tatanan masyarakat Seith yang ada”. “Tokoh-tokoh terbaik negeri Seith yang memiliki pandangan luas juga harus dimintakan masukan mereka untuk membangun negeri (Seith) ke depan.
Misalnya, menghadirkan Ishaka Lalihun yang merupakan dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Pattimura untuk dapat menjelaskan kondisi sosial dan budaya masyarakat Seith secara akademik dan terperinci. Selain Lalihun juga ada Sufiat Haupea yang dapat menjelaskan tata kelola pemerintahan dan produk hukumnya dalam menjalankan kekuasaan dan cara penetapan “matarumah parentah”.
Dengan menghadirkan para akademisi dan praktisi serta tokoh lainya nanti, juga mendengar masukan serta pandangan tokoh agama, tokoh masyarakat, serta seluruh lapisan yang ada, diharapkan dapat memberikan gambaran dan penjelasan secara utuh berdasarkan data dan fakta sejarah, agar masyarakat juga dapat mengerti dan mehami tata cara dan proses yang baik dan benar”.
“Yang saya lihat mekanismenya juga sangat keliru sehingga melahirkan sesuatu yang instan, bahkan sampai hari ini belum ada penetapan Ketua Saniri yang baru. Itu pula yang membuat penjabat negeri mempolitisir keadaan yang ada”. Sebelumnya kritik keras juga datang dari para pemuda negeri Seith di balik sikap penjabat yang tidak baik itu. “Kami sangat sayangkan sikap penjabat negeri Seith dalam rapat Saniri yang cenderung dilaksankan untuk mengesahkan keputusan soal “matarumah parentah” tanpa melalui pembahasan dan langsung disahkan begitu saja, sehingga aspek demokrasi dan persamaan hak masyarakat selaku anak negeri diabaikan. Kami juga secara tegas mempertanyakan apakah penetapan “matarumah parentah” tersebut sudah berdasarkan kajian apa saja dan dari sisi mana yang menjadi acuannya, sebab tidak ada pembuktian ilmiah dan penjelasan kepada masyarakat yang mendasari penetapan perneg tersebut.
Bahkan itu mungkin akal-akalan penjabat saja untuk menghalalkan cara-cara kotornya untuk berkuasa,” keluh masyarakat setempat sebagaimana dikutip referensimaluku, Jumat (17/09/2021).
Sumber itu mendesak Bupati Malteng Tuasikal Abua dapat mengambil langkah konkret ke arah penyelesaian polemik yang berkembang di tengah masyarakat Seith. “Sebab posisi masyarakat sekarang sudah terbelah karena ada pro dan kontra apalagi hal ini sudah berlangsung selama 10 tahun tanpa ada raja definitif. Masyarakat khawatir apabila kondisi sosial ini terus dibiarkan berlarut-larut, akan menimbulkan permasalahan baru di kemudian hari dan akhirnya merugikan masyarakat Seith”.
“Masalah ini sangat krusial dan harus ada jalan keluar.
Negeri Seith ini juga pernah dipimpin Raja dari marga Mahu dan Raja dari marga Hataul, sehingga harus divalidasi melalui tahapan yang sesuai demi kebaikan semua pihak. Olehnya itu, Pemkab Malteng diharapkan serius dan tegas menyelesaikan masalah di Seith, dan hal ini bisa dilakukan Bupati Abua Tuasikal melalui Kabag Pemerintahan dan Kabag Hukum untuk menggerakan roda pemerintahan di Seith dan mendudukan kembali semuanya pada proses yang benar dan tahapan yang benar berdasarkan kajian akademik, data dan fakta yang ada melalui pleno terbuka dan pleno tertutup yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat, saniri dan pemneg. Melalui peran Bupati Abua Tuasikal masalah yang ada bisa diselesaikan, sebab prinsip kita yang benar tetap benar dan yang salah tetap salah,” tutupnya. (RM-05)
Discussion about this post