Referensimaluku.Id.Ambon-Perhimpunan Mahasiswa Aru (Permaru) menggelar demo menuntut kebijakan Pemerintah Provinsi Maluku, Pemerintah Kabupaten Kepulauan Aru dan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut. Demo yang dikoordinasi Badan Pengurus Daerah (BPD) Permaru dilakukan di Kantor Gubernur Maluku, Senin (13/9).
“Masyarakat di Maluku dihadapi persoalan tanah adat yang dirampas oleh elit -elit di Negeri para Raja-raja dan hal ini kini terjadi di desa Marafefen, Kecamatan Aru Selatan, Kabupaten Kepulauan aru, Maluku,” teriak pendemo saat itu.

Dalam orasinya Permaru mengatakan hutan adat dan masyarakat Marafefen adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain karena saling menjaga dan saling menghidupi satu sama lain. Hal itu digambarkan pada ritual adat pembakaran alang-alang (imperata cylindrica) yang dikenal di masyarakat Marafefen dengan sebutan “Jerfara Teel” di mana tradisi ini biasa digelar setahun sekali.
Tradisi ini untuk menuai hasil dari alam yang dilarang mengambil sebelum waktunya atau dikenal dengan “sasi adat”.
Tetapi hal buruk menghampiri bersamaan masuknya TNI- AL di lahan adat masyarakat Marafefen pada 1991 silam dengan dalil untuk kepentingan pertahanan dan keamanan negara. Seiring berjalan waktu di lokasi tersebut dan akan dibangun bandara dan di saat bersamaan terbitlah Sertifikat Hak Pakai Nomor 01/Marafefen tanggal 13 Februari 1992.
Dari situlah, kata pendemo, TNI AL mengakui kalau mereka telah menguasai lahan adat masyarakat Marafefen dengan membuat dan mengantongi sertifikat yang didasarkan pada Surat Keputusan Gubernur Maluku Nomor 591.1/SK/50/92 yang kemudian menjadi lampiran surat TNI-AL kepada Komisi Nasional (Komnas) Hak Azasi Manusia (HAM) Perwakilan Maluku.
Dalam surat TNI-AL dicantumkan sejumlah nama-nama warga desa Marafefen yang hadir dalam musyawarah pelepasan tanah kepada TNI AL di masa itu.
“Setelah nama-nama itu diteliti saksama ternyata satu nama orang yang disertakan mengalami ganguan jiwa atau gangguan ingatan sejak lahir, satu nama tidak ada (tidak lahir), delapan orang lainya adalah nama-nama orangtua yang telah meninggalkn desa Marafefen sejak puluhan tahun dan enam orang masih kategori anak-anak di bawah umur,” beber pendemo.
Pendemo menuntut Gubernur Maluku Murad Ismail untuk segera mencabut SK.Nomor 591.1/SK/50/92 tanggal 22 Januari 1992 karena dinilai tidak pro masyarakat adat. “Kami meminta Badan Pertanahan Nasional untuk mencabut sertifikat yang diberikan kepada TNI-AL karena tidak memiliki kekuatan hukum dan di anggap tidak sesuai dengan SK Nomor 591.1/SK150/92 pada tanggal 22 Januari 1992”.
“Kami juga meminta Gubernur Maluku mendorong Bupati Aru agar segera mengeluarkan peraturan bupati sesuai dengan Surat Ederan Kementerian Dalam Negeri Bina Pemerintahaan Desa Nomor 189/3836/BPD tertanggal Jakarta 30 Agustus 2021 tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat”.
Pendemo mengutuk keras tindakan berburu menggunakan senjata api di hutan Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku. (Tim RM)
Discussion about this post