Oleh : Rizski Haryudi Rumalutur
(Alumni Sekolah Kader Pengawas Partisipatif (SKPP) Kota Ambon Tahun 2021)
~ Mahasiswa Pascasarjana Fisipol Universitas Pattimura
Referensimaluku.id ,- Di negara kedaulatan Republik Indonesia, setelah tumbangnya rezim pemerintahan orde baru, secara tidak langsung pengawasan pemilu meningkat tajam sebagai bagian partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarkat melesat jauh bergerak menjadikan pemantauan pemilu sebagai harapan yang sangat besar pasca di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto dianggap rezim otoriter dan tertutup. Pemilihan umum tahun 1999 merupakan bukti pemilu pertama pasca reformasi menjadi tonggak sejarah dalam kegiatan pemantauan pemilu. Pemantau pemilu merupakan kekuatan eksternal terbangun dari inisiatif dan menjadi fenomena untuk mengawal pemilu berjalan di atas prinsip jujur dan adil.
Akan tetapi aktifitas perjalanan pemantauan pemilu ini mengalami pasang surut khususnya setelah pemilu pada tahun 1999 dirasa semakin menurun. Ada beberapa faktor yang menjadi hambatan dan tantangan dalam aktivitas pemantauan pemilu yang diakukan oleh masyarakat. Diantaranya ialah, pertama, pesan yang disampaikan ke pemilih belum maksimal tentang pentingnya pengawasan publik disetiap tahapan-tahapan pemilu. Kedua, menurunnya aktivitas pemantauan terjadi akibat jarak tahapan dengan jangkauan pemilih.
Ketiga, faktor keterbukaan informasi kepemiluan sebagai catatan penting menjadi perhatian khusus bagi penyelenggara pemilu. Dikarenakan penyelenggara pemilihan umum merupakan pihak paling bertanggungjawab dari setiap tahapan (sedang berjalan, akan berlangsung, dan telah usai). Oleh sebab itu, diperlukan adanya desain baru kegiatan partisipasi masyarakat di Indonesia, dan tulisan ini penting untuk dijadikan referensi sebagai bingkai pemilu.
Pemilu lima tahunan memberikan ruang bagi seluruh rakyat untuk terlibat langsung menentukan siapa pemimpinnya dalam ajang kontestasi politik. Penentuan nasib rakyat tergantung siapa yang terpilih dipemerintahan nantinya, melalui berbagai program kebijakan publik didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku. Pemerintah bisa disebut sebagai pejabat penyelenggara negara mengemban amanat rakyat guna memastikan terpenuhinya hak dan kesejahteraan.
Dengan demikian rakyat harus terlibat dalam kegiatan pemilu melalui partisipasi aktif. Disinilah partisipasi masyarakat dalam pemilu dapat diwujudkan melalui: (1) partisipasi dalam sosialisasi pemilu; (2) turut serta pendidikan pemilih; (3) aktif memilih calon parpol serta memahami rencana strategis, visi, misi dan program dari partai di pemilu; (4) menggunakan hak suara sebagai pemilih; (5) menyiarkan berita pemilu; (6) mendukung peserta pemilu; (7) menolak politik praktis (money politic); (8) menyampaikan hasil pemantauan, dan pengaduan dugaan pelanggaran pemilu; (9) survey dan menyebarluaskan hasil survey tentang persepsi pemilih tentang peserta pemilu; (10) menyebarluaskan hasil perhitungan cepat pemilu (quick count).
Bentuk partisipasi di atas bagi pemilih sangat penting dan memiliki dampak politis terhadap legitimasi suatu tata kelola pemerintahan yang akan dihasilkan nantinya. Penyelenggaraan pemilihan umum dijalankan dengan sistem demokratis dan jurdil harus melibatkan peran publik, disinilah pentingnya rakyat.
Dengan kata lain adanya partisipasi berarti mendedikasikan diri terlibat aktif menghilangkan praktekpraktek kecurangan, manipulasi serta tersalurkannya hak pilih warga negara melalui program pengawasan pemilu tersebut dapat mewujudkan kedaulatan rakyat. Keterlibatan masyarakat dalam mengawasi pemilu sering disebut sebagai pemantau pemilu. Hal ini untuk membedakan dengan fungsi pengawasan resmi yang menjadi domain lembaga pengawas pemilu bentukan negara yaitu Bawaslu. Melihat fenomena partisipasi masyarakat sipil dalam mengawal pemilu.
Oleh karena itu, dibutuhkan kolaborasi yang kuat antara Bawaslu dan masyarakat pemilih. Inilah yang menjadi kunci peningkatan partisipasi sebagai wujud transformasi strategi dalam pengawasan.
Pengawas Partisipatif Pemilu
Fase terpenting justru bukan menyangkut persoalan transisi dan sirkulasi kekuasaan dalam pemilu. Namun ada fase lain yang perlu dipertimbangkan yaitu negara hadir memberikan apresiasi kepada warga negara untuk menjamin ruang dan rakyat sendiri patut mengekspresikan harkat dan martabat maka disinilah pemilu dimaknai fase terbuka karena didalamnya ada peran penting keterlibatannya sebagai partisipasi publik. Oleh sebab peran publik dalam penyelenggaraan pemilu tidak boleh dilupakan karena bukan hanya persoalan eliet parpol. Peran tersebut hadir melalui lembaga pemantau dan pengawas pelaksanaan pemilu ditambah dengan membangun kesadaran publik melalui peran individu diharapkan saling menguatkan serta bertanggungjawab menciptakan kualitas pemilu lebih baik.
Wujud kepedulian pengawasan pemilu ke depannya, tidak hanya sejuta relawan tetapi melipatgandakan model pengawasan lain yang partisipasinya berasal dari masyarakat. Selain itu, berani mereplika posko pengawasan terpadu (awaslupadu). Hal ini, dapat dijadikan sebagai sarana berkumpul menjembatani Bawaslu dengan kelompok masyarakat bisa dari kalangan mahasiswa, organisasi masyarakat bahkan masyarakat sipil. Tujuannya membangun komunikasi lebih intens terkait perkembangan pengawasan yang dilakukan masyarakat dalam pemilihan umum.
Transformasi Strategi Model Pelibatan Masyarakat Dalam Pengawasan
Perputaran lima tahunan dari tahun ke tahun, dari pemilihan umum ke pemilihan umum terahir baru dilaksanakan pada tahun 2019 ternyata grafik angka pemantau pemilihan umum mengalami penurunan apalagi dibarengi dengan penegakan hukum perkara pelanggaran pemilu dianggap rumit. Sehingga menjadi problematika tersendiri dalam menggandeng partisipasi publik. Beranjak dari problem ini.
Seharusnya cepat merespon berusaha membangun kreativitas guna menciptakan praktek pemantauan pemilu sederhana dan mudah. Salah satu cara dinilai efisien dan efektif melalui pendekatan publik dengan memanfaatkan teknologi informasi berbasis aplikasi dan media sosial. Kecanggihan teknologi saat ini tidak dapat dipungkiri apalagi perkembangannya sangat cepat. Bahkan perlu uptudate seiring dengan kemampuan publik yang semakin progress mengikuti perubahan. Hal ini, bisa menjadi trobosan untuk dimaksimalkan pemantauan pemilihan umum berbasis teknologi.
Dengan demikian fungsi pengawasan bisa berjalan efektif yang langsung diserap masyarakat tentunya dibantu oleh peserta pemilu dan pemantau pemilu yang sudah ada. Tiga elemen ini jika melakukan pengawasan akan lebih mudah dan murah. Sedangkan indikator efektivitas pengawasan dilihat dari mekanisme penanganan pelanggaran dan penyelesaian sengketa pemilu. Apabila diterapkan ide ini sangat ideal, dan realistis untuk diaplikasikan. Tentu diperlukan upaya serius untuk memastikan pengawasan bergerak secara massif dalam mengawasi dan memantau jalannya penyelenggaraan pemilu. Usaha yang dapat dilakukan ialah pendekatan non struktural tujuannya memberikan ruang kepada masyarakat seluas-luasnya untuk berpartisipasi mengurangi ketergantungan kepada pengawas pemilu. Sehingga masyarakat dituntut aktif melaksanakan pemilu secara jurdil.
Sehingga masyarakat terlibat sebagai pemantau pemilu, baik melalui lembaga yang disediakan oleh bawaslu berupa pengawasan berbasis teknologi informasi forum warga pengawasan pemilu, pengabdian masyarakat pengawasan pemilu, pengawasan media sosial, saka adhyasta pemilu dan gerakan partisipatif pemilu kesemua ini disesuaikan dengan usia, pendidikan dan pekerjaan. Atau pengawas melalui pemantau dalam negeri, luar negeri, LSM dan perwakilan negara sahabat di Indonesia. Pemantau pemilu ini tentunya mendapatkan perlindungan hukum. (*)
Discussion about this post