Oleh : M J Latuconsina
Pemerhati Sosial Politik
Referensimaluku.id ,- “Ela jalan bae-bae”, kalimat ini disampaikan seorang ibu kepada saya, saat saya usai mengisi bensin di depan pondoknya dikawasan Karang Panjang, Ambon Jumad kemarin. Ibu itu adalah pela saya dari Negeri Tuhaha (Beinusa Amalatu) di Pulau Saparua sana, lantaran indikator bensin pada motor saya sudah berkedip-kedip saat menuruni Karang Panjang tak jauh dari Café Panorama. Mata saya pun memandang sekitar kawasan itu, karena security di kantor mengatakan ada dijual bensin pada satu dua pondok disitu.
Tepat pada sisi kanan jalan saya pun menepi dalam dialeg Malayu Ambon saya teriak, “bali bensin dolo mama.” Ia pun keluar dan menanyakan “yang biasa ka pertalait ?” saya pun katakan “mama pertalait jua.” Dari logatnya saya identifikasi ia berasal dari Negeri Ulath (Beilohy Amalatu). Sambil ia mengisi bensin saya menanyakannya, “mama orang Ulat ka ?”, ia menjawab “seng beta orang Tuhaha”, Saya lantas merespons “mama ini katong pung pela”, ia kemudian katakan “dari Rohomoni ka”, “bukan beta dari Ory (Pelau Kacil) mama.
”Lantaran buru-buru dengan posisi jalan menurun, untuk mengarahkan motor saya ke arah kiri jalan, dengan mata melirik sisi kiri dan kanan jalan, mengantisipasi datangnya mobil yang naik dan turun ke arah kawasan Karang Panjang dan sebaliknya, saya lupa menyapa ibu yang adalah pela saya tersebut. Ketika sudah nyaris di sebelah kiri jalan ibu itu pun merespons dengan berteriak “jalan bae-bae ela”, saya pun menyapanya lagi “ia mama pela.
”***
Relasi pela Hatuhaha (Pelau, Rohomoni, Kabau, Hulaliu dan Kailolo), dan Tuhaha saya mendengarnya dari para orang tua kami. Beberapa tahun lalu saya pernah membaca sebuah majalah menyebutkan, bangsa Portugis menamakan keduanya sama yakni, Hatuhaha Grande (besar), Amarima Hatuhaha di Pulau Haruku, dan Hatuhaha Pequena (kecil), Tuhaha di Pulau Saparua. Dalam sejarah Perang Alaka I (1570-1573) dan Perang Alaka II (1625-1637), kontribusi para kapitan dam melesi dari Tuhaha datang membantu Hatuhaha saat melawan Portugis dan Belanda.
Sebagai bukti ikatan historic itu, dapat ditemukan makam para kapitan dan malesi Tuhaha di Alaka, yang berada diwilayah Hatuhaha, Pulau Haruku yang gugur saat melawan Portugis dan Belanda pada Perang Alaka I dan Perang Alaka II. Para kapitang dari Tuhaha yang datang membantu Hatuhaha saat perang tersebut yakni, Kapitan Patipelohi, dan Kapitan Aipasa. Secara akademik ulasan bantuan Tuhaha kepada suadaranya Hatuhaha dapat kita baca pada karya, Maryam RL Lestaluhu terbitan PT AL Ma’arif tahun 1989.
Tentu sebuah history flashback yang perlu di rekonstruksi kembali, agar para generasi Hatuhaha dan Tuhaha tidak tergerus oleh “amnesia sejarah” bahwa, ternyata kedua komunitas ini memiliki ikatan persaudaraan yang sejati dalam relasi pela. Tuhaha di Pulau Saparua turut memberikan kontribusi yang besar bagi eksistensi Hatuhaha di Pulau Haruku di zaman dahulu kala, tatkala berkecamuknya Perang Alaka I dan Perang Alaka II, sehingga tetap berdiri kokoh hingga saat ini.
Stressing substantif saya adalah semangat referesif dan akademik, bukan debating yang tanpa dasar tentang kesejarahan, yang akan menghempaskan kita untuk semakin jauh dari nilai-nilai persahabatan dan persudaraan. Akhirulkalam meminjam ungkapan Edmund Burke (1729-1797), seorang filsuf berkebangsaan Inggris bahwa, “sejarah adalah suatu perjanjian di antara orang yang sudah meninggal, mereka yang masih hidup, dan mereka yang belum dilahirkan.” (M.J. Latuconsina)
Discussion about this post