Oleh : M J Latuconsina
Pemerhati Sosial dan Politik
Referensimaluku.id,- Guna menggambarkan kondisi sosial ekonomi para nelayan, tak perlu saya mencarinya dari referensi tertulis, karena dulu di waktu masih sekolah saya berteman dengan anak-anak para nelayan. Kondisi nelayan sebagian besar hidup dalam ketercukupan, bahkan ada dibawah ketercukupan. Saya menyaksikan betapa kebutuhan papan berupa rumah dari sebagian kecil mereka diami cukup papa. Anak-anak mereka rata-rata sekolah tapi bervariasi ada yang hanya menamatkan Sekolah Dasar (SD), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), dan ada juga yang mampu menuntaskan hingga Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Tapi banyak juga yang putus sekolah, lantas memilih kawin mudah.
Ketidakmampuan akses pendidikan berdampak pada kriminalitas, dimana mereka suka berkelahi, mabuk dan mencuri. Akses pendidikan sulit didapatkan, karena pendapatan orang tua mereka kecil. Sehingga tidak mampu membiayai mereka. Namun ada juga sahabat saya dari keluarga nelayan yang papah ia adalah siswa yang berprestasi sejak SD hingga SLTA dan sempat menempuh kuliah bersama saya. Begitu juga ada teman, yang orang tuanya adalah nelayan sukses memiliki jaring bobo (mini purse seine), banyak motor, rumah besar, dan pada zaman itu sudah memutar video kaset yang ditonton warga sekitarnya.
Ia juga menempuh sekolah dari SD hingga SLTA kita biasanya diajak nonton video di rumahnya, sesuatu yang berkelebihan pada waktu itu. Bahkan berulang kali saya disuguhi ikan laut hasil tangkapan orang tua mereka, yang baru digoreng dimana terasa nikmat. Kadang juga saya datang untuk sekedar tidur siang di rumah mereka. Ada perasaan betapah kesederhanaan itu saya nikmati. Mungkin mereka juga demikian tidak risih dengan keterbatasan. Ada juga sirip ikan hiu (Selachimorpha) hasil tangkapan orang tua mereka, yang sudah dikeringkan lantas diikat pada gantungan ruang tamu mereka.
Pernah suatu waktu mungkin karena membutuhkan uang, bersama kawan saya menenteng sirip ikan hiu yang sudah dikeringkan lantas ditawarkan ke tokoh milik pedagang keturunan Cina. Dari satu toko ke toko yang lain kita datangi, kata kawan saya itu dalam dialeg Malayu Ambon menawarkan kepada mereka, “bapa ence bali ekor kaluyu karing kaseng”, kata bapa ence balik, “seng nyong”. Saya iseng bertanya apa manfaat ekor ikan hiu kering, kawan saya itu hanya katakan untuk obat. Lantaran tidak laris sirip ikan hiunya kita pun pulang, tapi ia tidak nampak kecewa tetap riang sepanjang jalan.
Jika saja manajemen penangkapan hingga pemasaran sirip ikan hiu kering dilakukan dengan baik oleh orang tua mereka, tentu akan terkerak naik pendapatan mereka yang hanya diperoleh dari sirip ikan hiu kering saja, belum jenis ikan lainnya. Pasalnya harga pasaran tarif ekor ikan hiu kering saat ini yang tertinggi mencapai Rp8.200.000 per 1 Kg, dan yang termuruah Rp137.000 per 1 Kg. Ini adalah kondisi sosial ekonomi masyarakat nelayan, berdasarkan observasi langsung tatakala bersahabat dengan anak-anak mereka pada suatu cluster area warga masyarakat nelayan di Seram Bagian Selatan (SBL) yang berada di Masohi.
***
Dalam karya lawasnya berjudul “Otonomi Khusus Bidang Kelautan : Suatu Pendekatan Multi Aspek Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan di Maluku, Darul Kutni Tuhepaly (2006) menyebutkan bahwa, Maluku memiliki luas mencapai 712.479,69 km2, mencakup 54.185 km2 (7,6%) luas daratan dan 658.294 km2 (92,4%) luas lautan, dimana 92,4% merupakan laut, dan sisanya adalah wilayah daratan terdiri dari pulau besar, sedang dan kecil. Dengan luas laut itu, menyimpan sumber daya perairan mencakup 658.294,69,km2.
Dimana memiliki potensi perikanan tangkap mencapai 1.640.030 ton/tahun, potensi perikanan budidaya laut mencapai 494.400 ha, dengan lokasi penyebaran mencakup Laut Seram, Manipa, Buru, Kepulauan Kei, Kepulauan Aru, Yamdena, Pulau-Pulau Terselatan dan Wetar. Selain itu, Maluku juga memiliki potensi perikanan tangkap mencapai 1.640.030 ton/tahun. Ikan pelagis besar mencapai 261.490 ton/tahun, ikan pelagis kecil mencapa 980.120 ton/tahun, ikan demersil 295.500 ton/tahun, ikan karang 47.600 ton/tahun, udang 44.000 ton/tahun, lobster 800 ton/tahun dan cumi 10.520 ton/tahun.
Untuk potensi perikanan budidaya laut mencapai 494.400 ha, yang mencakup kakap putih mencapai 31.000 ha, kerapu mencapai 104.000 ha, rumput laut mencapai 206.000 ha, tiram mutiara mencapai 73.400 ha, teripang 28.000 ha, lobster mencapai 23.000 ha dan kerang-kerangan mencapai 29.000 ha. Meskipun data yang disajikan Tuhepaly merupakan data yang sudah kadaluarsa, dimana merupakan data tahun 2006 kebawah, tapi akan tidak berbeda jauh dengan data-data potensi bidang perikanan dan kelautan di Provinsi Maluku pada tahun 2020, yang merupakan data terbaru dan lebih relevan dengan konkets kekinian.
Dari potensi bidang perikanan dan kelautan yang dimiliki Provinsi Maluku tersebut, perlu di dorong oleh para stakeholders untuk meningkatkan kesejahteraan para nelayan. Untuk itu berbagai kebijakan strategis baik itu dari level nasional dan lokal, yang relevan dengan pembangunan bidang kelautan, dan perikanan di provinsi seribu pulau ini harus menempatkan nelayan pada perpektif strategis, untuk meningkatkan kesejahteraan. Pasalnya salah satu penyumbang angka kemiskinan adalah para nelayan, sehingga jika mereka diperhatikan dengan cara dibina akan berdampak pada peningkatan kreasi mereka dalam usaha perikanan dan kelautan.
Hal ini merupakan output langsung dari pemberdayaan nelayan. Tentu upaya pembinaan yang dilakukan para stakeholder intens dilakukan dari waktu ke waktu. Ada sebagian besar sukses namun ada juga sebagian besar yang tidak optimal. Hal ini tentu terkait dengan mekanisme implementasi kebijakan, yang harus benar-benar kondisional sesuai dengan karakter sosial-ekonomi warga nelayan setempat, sehingga benar-benar terimplementasi dengan baik. Pada konteks ini, proses evaluasi yang substansial perlu intens dilakukan oleh para stakeholder. Hal ini untuk memastikan persentasi keberhasilan dan kegagalannya. (*)
Discussion about this post