Oleh : M J Latuconsina
Referensimaluku.id, Pada suatu kesempatan bertempat di Cafe Pelangi, Soabali, Ambon saya bersua dengan Jimmy Sitanala gandong saya dari Negeri Suli, lantas saya menyentil sedikit tentang kiprah perjuangan opanya Dr. J.B. Sitanala, yang pernah terhimpun dalam Indische Vereeniging saat kuliah di Negeri Belanda. Terdengar dari cucunya itu, opanya adalah seorang dokter pejuang, yang berkperibadian smart dan romantik, Bagi saya Sitanala bukan hanya seorang dokter biasa, tapi “dokter pergerakan, dokter humanis”, yang mendarmabaktikan jiwa dan raganya untuk bangsa, negara Indonesia dan demi kemanusiaan. ***
Terlepas dari itu, salah satu tokoh pergerakan nasional asal Maluku, yang memiliki profesi sebagai dokter selain dokter Johannes Leimena adalah Dr. J.B. Sitanala. Ia memiliki nama langkap Jacob Bernadus Sitanala. Pada masa lampau, Sitanala bersama kawan-kawannya dari berbagai daerah di Hindia Belanda, saat sekolah di Negeri Belanda pernah aktif di Indische Vereeniging Perhimpunan Hindia, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda yang didirkan pada tahun 1908. Organisasi ini, dalam perkembangannya lantas berubah namanya di tahun 1922 menjadi Indonesische Vereeniging, yang lebih dikenal dengan Perhimpunan Indonesia (PI).
Nama dan marganya tidak asing lagi bagi kita warga Maluku, dimana berasal dari Negeri Suli, Salahutu, Maluku Tengah. Namanya pun diabadikan pada beberapa ruas jalan di tanah air. Begitu juga namanya diabadikan pada sebuah rumah sakit di Kota Tanggerang, Provinsi Banten yakni, Rumah Sakit Kusta (RSK) Dr. Sitanala yang terletak di Desa Karangsari, Kampung Sewan, Kecamatan Neglasari. Diabadaikan namanya tersebut, sebagai penghargaan dari Pemerintah RI pada era Menteri Kesehatan Prof Dr Satrio terhadap jasa Sitanala, sebagai seorang dokter yang pertama kali berkecimpung dalam menangani penderita kusta di tanah air.
Sitanala dilahirkan dari keluarga pengusaha kecil pada 18 September 1889 di Kayeli, Pulau Buru. Dia merupakan keturunan keluarga besar Sitanala dari Negeri Suli di Pulau Ambon. Sitanala memulai pendidikan dasar pada Ambonsche Burger School di Ambon dan pendidikan menengah Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) pada 1904. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya ke School Tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) di Batavia pada 18 Januari 1904.
Saat sekolah di STOVIA, Sitanala juga aktif berorganisasi, namanya tercatat dalam sebuah pertemuan Ambonsch Studiefonds pada 17 Juli 1910 di Kebun Binatang, Betawi (Jakarta). Acara tersebut dihadiri sekitar 123 orang dan beberapa personel militer Ambon yang bermarkas di Meester Cornelis (Jatinegara). Selain itu, dilansir dari harian Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië yang terbit 30 Agustus 1907, Sitanala juga bergabung menjadi komisaris dalam Voetbalclub STOVIA.
Setelah berhasil memperoleh ijazah dokter pada 30 Juli 1912, ia diangkat menjadi dokter pemerintah yang ditugaskan menangani wabah penyakit di berbagai daerah. Pada 1914, Pemerintah Hindia Belanda menugaskannya ke Merauke, Neo Guinea (Papua) untuk mengatasi penyebaran penyakit kelamin. Atas prestasinya yang tinggi dalam tugas pelayanan kedokteran dan penelitian ilmiah, Sitanala pun mendapat tugas belajar ke Belanda pada tahun 1923. Di sana dia mendalami ilmu penyakit kusta (lepra). Meski di negeri kincir angin itu ia belajar dengan tekun, tapi Sitanala masih meluangkan waktu dalam dunia pergerakan. (muskitnas.net, 2021).
Keterlibatannya dalam dunia pergerakan dengan aktif pada Indische Vereeniging, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda bersama dengan Mohammad Hatta, Iwa Koesoemasoemantri, Darmawan Mangunkusumo, Sastro Muliono dan sejumlah mahasiswa asal Hindia Belanda lainnya. Tampilnya mereka dalam kancah pergerakan pada zamannya, relevan dengan ungkapkan Thomas Jefferson (1743-1826) Presiden Amerika ke-3 bahwa, “setiap generasi memerlukan sebuah revolusi baru.” Sitanala saat aktif di Vereeniging memang tidak semilitan Hatta, Ali Sastroamidjojo, Nazir Datuk Pamuntjak, dan Abdulmadjid Djojoadiningrat. (Ginting, 2004, Wahyono, 2016).
Keempat sahabatnya ini di ditangkap penguasa Belanda pada 25 September 1927 atas tuduhan mengikuti partai terlarang, yang dikait-kaitkan dengan Semaun tokoh komunis di Hinda Belanda, yang pada waktu itu terlibat dalam pemberontakan di Hindia Belanda, dengan menggerakan partai komunis yang dipimpinnya, untuk menghasut rakyat guna menentang pemerintah Hindia Belanda. Kebanyakan dari kawan-kawannya ini, dikemudian hari berkontribusi dengan menjadi pimpinan negara, dimana mereka menempati jabatan sebagai Wakil Presiden, Perdana Menteri, dan Menteri.
Kendati Sitanala bukan seorang figur pergerakan yang militan, tapi ia telah menunjukan sprit nasionalismenya, yang tumbuh dari dalam jiwanya. Sprit yang identik juga menghinggapi para mahasiswa dan pelajar di zaman itu, spirit ini yang kemudian menjadi cikal bakal sinergitas perjuangan para pelajar dan mahasiswa Hindia Belanda, dimana mereka memiliki cita-cita politik, untuk mencapai kemerdekaan terlepas dari penguasaan kolonial Belanda, dengan menjadi suatu negara bangsa (nation state) baru, yang dinamakan Indonesia, pada wilayah kepulauan yang membentang dari barat hingga timur antara Samudra Hindia dan Samudra Pasific, yang dahulu kala para pedagang Arab menyebutnya Jaza’ir al-Jawi (Kepulauan Jawa).(Hasan, 2016).
Pada tahun 1926, setahun setelah kawan-kawan di Indische Vereeniging ditangkap, Sitanala berhasil memperoleh diploma “Nederlandsche Arts”, dan pada tahun 1927 mendapat gelar doctor dan guru besar dalam ilmu penyakit kusta. Setelah kembali ke Hindia Belanda dan bertugas sebagai ahli penyakit kusta, ia kemudian diangkat sebagai kepala pemberantasan penyakit kusta. Sitanala pada zamannya adalah seorang ahli penyakit kusta yang pertama. Sebagai perintis pemberantasan penyakit kusta, ia dikenal pula di dunia internasional karena karya-karya ilmiah hasil penelitian dan metode baru pengobatan penyakit kusta yang ia kembangkan. (Hoesein, 2013).Perasaan nasionalismenya sangat tinggi, dan terlihat dalam usaha-usaha untuk membela rakyat kecil, yang diperlakukan tidak manusiawi dalam bidang kesejahteraan dan kesehatan juga menentang ras diskriminasi di kalangan profesi kedokteran. Ia juga adalah salah satu tokoh berperan dalam pendirian Palang Merah Indonesia (PMI). Pada 3 September 1945 Presiden Soekarno memerintahkan Dr. Boentaran Menteri Kesehatan saat itu, untuk membentuk suatu badan palang merah nasional, maka dibantu panitia lima yang terdiri dari Dr. Bahder Djohan sebagai penulis, dan tiga anggota panitia yaitu Dr. R. M. Djoehana Wiradikarta, Dr. Marzuki, dan Dr. Sitanala, maka tepat pada 17 September 1945 berdirilah Palang Merah Indonesia (PMI).Sitanala telah menunjukan komitmen dalam perjuangan membebaskan tanah airnya dari kolonialisme dengan aktif dalam organisasi pergerakan. Bahkan ia banyak mengabdikan dirinya dalam bidang kesehatan di tanah air, sisi kemanusiaannya yang menonjol seiring dengan aktifitasnya dalam dunia pergerakan. Kiprahnya dalam bidang kemanusiaan itu, mengingatkan saya pada ungkapan François-Marie Arouet (1694-1778), yang populer dengan nama Voltaire, seorang filsuf berkebangsaan Prancis pada era pencerahan bahwa, “saya tahu tidak ada orang-orang hebat kecuali mereka yang memiliki pengabdian besar pada kemanusiaan.” Dan pengabdian besar pada kemanusiaan itu telah didedikasikan Sinatala kepada bangsa dan negara Indonesia. (M.J. Latuconsina).
Discussion about this post