Oleh: Syahrisal Abidin, S.Kom
Pemerhati Sosial dan Politik
“Politik itu dinamis “. Frasa umum yang sering digaungkan kalangan akademisi di kampus hingga tukang ojek di Pangkalan Ojek yang berujung pada sebuah kesimpulan klasik ’’Tidak ada kawan dan lawan politik yang abadi. Yang ada hanyalah kepentingan yang abadi’’. Bagi sebagian besar masyarakat di Provinsi Maluku setelah mencermati sikap politik dan kebijakan Murad Ismael (MI) belakangan ini yang menyingkirkan orang-orang yang pernah dekat dengannya merupakan pembenaran dari adagium politik di atas. Jika dicermati tampaknya stiap frasa, punchline maupun celotehan Gubernur Maluku ke-13 kerap mengundang tanda tanya besar. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah ini salah satu sikap (attitude) beliau yang direncanakan atau by design ? Atau, memang sudah dari sananya sikap asli beliau?
Mengambil dari frasa ’’politik itu dinamis’’, maka penulis ingin mengajak penikmat politik untuk sejenak merefleksikan kembali fenomena MI ini seakan-akan mengingatkan kita tentang dua sosok Pemimpin Dunia yang serupa tapi tak sama, yakni Donald Trump dan Marie Le Pen. Sama sama besar di medio 2016 ke atas, berpaham sama, dan dengan perangai eksentrik yang ditandai dengan celotehan- celotehan khas mengetuk kawan maupun lawan politiknya. Marie Le Pen (MLP) adalah sosok kontroversial yang bertarung melawan Emmanuel Macron pada Pemilihan Umum Perancis. Berslogan Kemurnian Perancis untuk Orang Perancis (bukan imigran), MLP gagal melawan Macron. Di satu sisi, Donald Trump (DT) bernasib lebih beruntung. Dengan segala celotehan yang terekam luas di sosial media, DT sukses menjungkalkan rivalnya Hillary Clinton pada Pemilu di AS (Kita tahu bersama pada akhirnya DT pun kalah dii Pemilu AS tahun 2020 melawan Joe Biden). Dari sini penulis memahami sungguh betapa ada dorongan perubahan sikap pemilih yang memberikan panggung kepada sosok-sosok seperti di atas yang jika dibandingkan dengan bagaimana upaya MI mengimplemenntasikannya pada Pemilihan Gubernur 2019 dan 2024 mendatang.
Sebagian para pemilih DT dan MLP adalah orang-orang kelas menengah ke bawah yang berpaham konservatif. Mereka umumnya merasa bosan dan jenuh terhadap sikap politikus-politikus sopan namun lemah terhadap proses pelaksanaan kebijakan. Mereka membutuhkan sosok progresif yang tidak ortodox, serta energik, cenderung reaktif bahkan di dalam sekedar menanggapi isu-isu remeh temeh yang terkesan lucu. Nah, Pemilihan Gubernur Maluku pada 2019 silam telah melahirkan sosok MI yang pada akhirnya memberikan kesimpulan dan cocokmologi yang mewajarkan kita semua tentang sosok MI.
Namun tidak semua strategi yang digaungkan DT maupun MLP itu berhasil. Menurut Brad Pascale (Ketua Tim Kampanye Donald Trump) di Pemilu AS 2016 lalu “Let Trump, Be Trump” memiliki risiko sangat tinggi. DT menjadi sosok yang tidak bisa dikontrol jarinya di Twitter (bahkan akun Donald Trump dibanned). MLP pun harus menjauhkan aktivitas politik dari Jean Marie Le Pen, ayahnya, yang pendiri Partai Front Nasional Perancis. Namun memiliki pemahaman ultranasionalis yang menolak Holocaust. Mencermati tindakan kedua sosok pemimpin tersebut di atas yang terlihat mulai beres-beres rumah. Hal serupa pun dilakukan MI. Dengan dua bidak catur yang sudah dikorbankan beliau memantik pertanyaan ’’Apakah fenomena ini juga merupakan pengejewantahan dari dua sosok pemimpin dunia tersebut diatas?’’
MI sendiri sudah mengakui seraya mengatakan ’’Jangan apa apa sedikit ditanggapi omongannya’’. Benar bahwa MI dibesarkan di barak militer, namun komunikasi politik Beliau merupakan salah satu titik lemah yang kelak dapat menjadi sasaran empuk lawan-lawan politiknya menjelang pemilihan Gubernur Maluku 2024. Toh, apa lah daya sebab masyarakat Maluku sudah mewajarkan dan sudah selayaknya menanggapi orang nomor satu Maluku ini, Bukan Dua,bukan tiga. Sudah sewajarnya kita melakukan fungsi ’’check and balance’’ terhadap kinerja pemangku kebijakan kita (setiap gerak-gerik dan mimik adalah senjata bagi lawannya MI)
Terakhir seperti kita ketahui bersama bahwa DT dan MLP pun akhirnya terjungkal dengan celotehan-celotehan yang pada akhirnya menjadi bumerang dengan tidak seriusnya DT menangani pandemi virus korona (Covid-19) yang sengaja dimanfaatkan dengan matang Joe Biden. Juga MLP yang diserang habis-habisan Macron. Masyarakat Maluku perlahan-lahan mulai berani menanggapi setiap celotehan nyentrik MI. Apakah ’’kaskadu’’ akhirnya menjadi “The Last Swansong” bagi MI? Wallahualam bissawab.
MI perlu berbenah merapatkan barisan agar tidak mengalami hal tragis dalam politik seperti apa yang pernah dialami MLP dan DT. Namun, menurut hemat penulis, mewajarkan atau menyejajarkan MI dengan MLP dan DT adalah sebuah kemustahilan. (**)
Discussion about this post