Referensimaluku.id.Ambon, – Lebih kurang 7.227 jiwa pengungsi asal Kecamatan Telutih-Tehoru, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, tengah menjerit di tengah hutan dan dataran tinggi pascagempa tektonik berkekuatan magnitudo 6,1 Skala Richter menerjang pesisir pantai Japutih hingga Apiahu pada Rabu (16/6/2021) siang.
Saat ini ribuan pengungsi, terutama anak-anak terancam terkena penyakit akibat belum ada penanganan dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Maluku Tengah hingga hari ketiga tragedi gempa yang ikut merusakkan lebih kurang 150 unit rumah warga yang sejauh ini bermukim di sekitar pesisir pantai terdampak gempa yang ditandai naiknya air laut ke daratan sepanjang 15-20 meter itu.
Warga dari empat desa Kecamatan Tehoru dan Telutih masing-masing Japutih, Haya, Saonolu dan Tehorumendirikan tenda seadanya karena masih kuatir terjadinya gempa susulan dan potensi tsunami dalam beberapa hari ke depan. ’’Sampai saat ini belum ada bantuan dari pemerintah daerah untuk membantu kami di lokasi pengungsian,’’ ujar Ruslan, salah satu warga Tehoru, yang ikut mengungsi setelah bencana tersebut kepada referensimaluku.id melalui ponselnya, Sabtu (18/6) sore.
Ruslan menuturkan sehari setelah kejadian datang bantuan darurat dari BPBD Maluku Tengah berupa terpal, tenda, makanan dan obat-obatan. Sekalipun demikian, kesan Rusly, BPBD Maluku Tengah lamban menangani ribuan warga korban gempa
Berkekuatan 6,1 SR yang melanda Desa Tehoru dan Teluti, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku. Kondisi miris ini seakan mengingatkan kenangan masyarakat akan bantuan stimulan pembangunan rumah korban bencana gempa bumi tahun 2019.
Dari hasil pemantauan referensimaluku.id di Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, sebagian besar rumah yang dibangun hanya rumah kategori rusak sedang dan berat saja, sedangkan rusak ringan belum terwujud bantuannya hingga saat ini. “Iyah pak, katong pung rumah ini belum bisa dibangun kalo rusak ringan, ” tutur salah satu korban bencana gempa tektonik di Desa Suli, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah, Yongki Sitanala kepada pers. “Itu juga pendamping seng bisa kasih penjelasan mengenai kapan katong bisa realisasi katong pung bantuan untuk rusak ringan. Padahal su mo jalan dua tahun ini. Pembangunan rumah untuk rumah rusak sedang juga dan berat juga baru 50 persen Pak. Ini bagemna ini,’’ keluh pengungsi gempa tahun 2019. Sementara itu, Tenaga Fasilitator Lapangan Bencana (TFBL) sudah tidak bekerja lagi disebabkan masa kontraknya sudah berakhir sejak April 2021.
’’Kalau mau dibawa ke logika, kategori rusak ringan adalah kategori yang paling banyak, dan paling memakan sedikit anggaran untuk merealisasikan bantuannya. Karena hanya Rp. 10 juta berupa bahan bangunan dan upah kerja dibandingkan rusak sedang dan rusak berat yang masing masing diberikan Rp. 25 juta , dan Rp. 50 juta. Pihak BPBD Maluku Tengah terkesan mengulur waktu pelaksanaan realisasi anggaran pembangunan rumah rusak untuk korban bencana 2019,’’ ulas Yongki.
Sementara itu, kesal Yongki, fasilitator yang menangani proses pendampingan tidak dapat menjelaskan alasan mengapa proses pencairan anggarannya hanya untuk rumah rusak berat dan rusak sedang. “Tidak tahu juga pak, BPBD Maluku Tengah yang bilang belum bisa mengusulkan untuk rumah rusak sedang karena belum ada dananya.
Di bagian lain Ketua Dewan Pimpinan Daerah Anak Seram Bersatu (ASB) Maluku Joses Dosantos Walalayo menyesalkan kelambanan pejabat Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah menyikapi gempa tektonik yang melanda Kecamatan Tehoru dan Telutih pada 16 Juni 2021. ’’Masyarakat yang mengungsi sudah sengsara, tapi pejabat Pemkab Maluku Tengah hanya tidur pulas. Memangnya jadi pejabat hanya tidur-tidur saja di rumah dan Pendopo. Kasihan dong masyarakat tidur di hutan tanpa bantuan pemerintah. Jangan jadi pejabat kalau tidak bisa melayani rakyatnya yang lagi menderita,’’ tegas Santos. (RM-02/RM-06/RM-01)
Discussion about this post